Container Icon

KORUPSI LAGI-LAGI KORUPSI!!!!!!

Dipostingkan oleh [Dina Puji Rakhmawati,038,Lain"]

Akhir-akhir ini pemerintah Indonesia banyak mendapat sorotan negatif terkait dengan program pemberantasan korupsi. Pembahasan mengenai masalah ini sudah cukup banyak dibicarakan dalam diskusi, seminar dan forum dialog di media masa, baik latar belakang maupun upaya-upaya yang dilakukan telah banyak dijelaskan oleh para ahli.
Banyak orang berpendapat bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi budaya. Sedemikian parahnya hingga seakan-akan telah berubah menjadi penyakit kanker kronis yang menggerogoti dari dalam tubuh bangsa ini. Akibat korupsi yang semakin merajalela, tingkat kemiskinan dan pengangguran juga meningkat secara signifikan dan berpotensi untuk menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Korupsi sebagai salah satu tindak kriminal merupakan perilaku yang merusak dalam masyarakat. Survei Lembaga Transparansi Internasional tahun 2001 persepsi-korupsi (anggapan tentang korupsi oleh rakyat) menempatkan Indonesia pada urutan kelima dari tigabelas negara paling korup di dunia, yaitu: Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina
Korupsi menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Perilaku Korupsi
Dalam pandangan ilmu psikologi, penyebab suatu perbuatan ialah interaksi antara faktor yang ada dalam diri seseorang dengan faktor yang ada di luar diri. Kedua faktor ini saling berinteraksi satu sama lain dalam wadah budaya. Faktor dalam diri adalah hal-hal yang disebut sebagai ciri kepribadian. Ciri kepribadian tersebut cenderung membuat orang mudah atau tidak dalam mengatasi godaan untuk melakukan korupsi. Sedangkan faktor di luar diri adalah kondisi-kondisi yang mempermudah orang untuk melaksanakan keinginan korupsi.
Faktor dalam diri
Salah satu sifat kepribadian yang menyebabkan orang mudah tergoda melakukan korupsi adalah motivasi berprestasi yang rendah. Motivasi berprestasi digambarkan oleh David McClelland (1963) sebagai “virus” yang mendorong seseorang untuk terus meningkatkan prestasi kerjanya. Orang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, bukan asal jadi. Mereka meletakkan standar yang tinggi untuk kualitas pekerjaan yang mereka hasilkan. Mereka bekerja didorong oleh keinginan yang kuat untuk menghasilkan pekerjaan dengan mutu yang baik, bukan semata-mata didorong oleh keinginan mendapatkan uang dengan jumlah banyak dalam waktu singkat. Mereka tidak puas dengan hasil kerja yang setengah-setengah. Mereka menyukai pekerjaan yang tergolong sulit dan menantang. Orang yang mempunyai motivasi berprestasi banyak yang menjadi orang kaya, namun kekayaan bukan merupakan tujuan utama hidup mereka. Kekayaan yang mereka dapatkan hanya akibat dari kualitas kerja mereka yang memang baik.
Orang yang motivasi berprestasinya tinggi tidak menyukai perbuatan mengumpulkan harta dengan cara-cara yang a moral (contohnya mencuri, menipu, menyogok, dll). Orang yang motivasi berprestasinya tinggi bersikap lain dengan sikap orang yang motivasi berprestasinya rendah.

Menurut hasil penelitian motivasi berprestasi orang Indonesia tergolong rendah. Mengutip hasil penelitian Ancok dan Faturochman (1987) menunjukkan bahwa motivasi berprestasi responden tidak tinggi. Skor maksimum yang diperoleh adalah 164. Hasil pengukuran tersebut kiranya tidak jauh berbeda dengan kanyataan yang ada di Indonesia. Cukup banyak orang Indonesia bekerja asal jadi. Contohnya dalam membuat bangunan SD, jalan, jembatan dan tanggul, banyak yang mutunya rendah. Sering kita mendengar dan melihat berita di Televisi bangunan SD yang ambruk, jalan yang berlubang, jembatan yang putus, tanggul yang jebol. Ini adalah gambaran bahwa orang Indonesia tidak peduli dengan mutu kerjanya sendiri, yang mereka pedulikan hanyalah besarnya keuntungan yang diperoleh. Contoh lain, dari rendahnya motivasi berprestasi ini adalah kasus komersialisasi jabatan dalam institusi pemerintahan, money politik dalam pemilu. Orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi tidak akan melayani masyarakat dengan mempersulit segala macam urusan demi mendapat uang sogok. Ia akan merasa puas dan bangga bila melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Para koruptor merasa tidak bersalah dan berdosa menerima uang sogok. Mereka tidak peduli bahwa uang tersebut akan merugikan masyarakat dan Negara. Untuk memenangkan “tender” suatu proyek misalnya, tanpa sungkan seorang pemborong harus memberikan uang sogok kepada si pemberi proyek dengan cara mengurangi mutu bahan yang dipakai untuk menyelesaikan proyek.
Banyak ahli yang berpendapat, kebiasaan para raja menerima upeti di zaman dahulu masih terbawa-bawa sampai kepada pejabat pemerintah hingga saat ini. Menerima upeti dianggap bukan hal yang salah. Uang sogok sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan upeti. Pendapat lain menyatakan bahwa sistem dan administrasi publik yang dipraktekkan di Indonesia adalah salah satu hasil belajar dari pemerintah kolonial Belanda di Indonesia yang korup. Sebab praktek itulah yang pada awalnya dilakukan oleh Belanda di Indonesia.
Saat menjajah Belanda membiarkan praktek upeti, suap dan korupsi yang terjadi di kalangan penguasa kerajaan di Indonesia. Ini sangat masuk akal karena Belanda memang tidak menjajah Indonesia untuk memperbaiki sistem pemerintahan, tetapi sebaliknya. Karena itu Belanda melakukan pembiaran praktek korupsi itu asal kepentingan politik dan dagangnya di Indonesia tidak terganggu.
Faktor di luar diri
Para ahli yang menggunakan pendekatan rasional-analitis menyatakan bahwa korupsi, seperti halnya perilaku kejahatan lainnya, adalah kejahatan yang dilakukan dengan perhitungan secara cermat dan rasional. Salah seorang ahli yang menggunakan pendekatan rasional-analitis adalah John Carroll. Menurut John Carroll suatu kejahatan adalah realisasi dari keputusan yang telah diambil, yaitu:
Subjective Utility (SU), yaitu pertimbangan si pelaku kejahatan, apakah dia akan melaksanakan atau tidak kejahatan yang direncanakannya.
Probability of success p(s), yaitu pertimbangan si pelaku, sejauh mana kemungkinan ia akan berhasil dan sukses dalam melaksanakan kejahatan yang direncanakannya.
Gain (G), yaitu pertimbangan besar kecilnya keuntungan yang akan diperoleh dari suatu tindakan kejahatan yang direncanakan.
Probability of fail p(f), yaitu pertimbangan gagal atau tertangkap dalam melaksanakan kejahatan yang direncanakan.
Loss (L), yaitu besar kecilnya kerugian apabila si pelaku tertangkap dalam melaksanakan kejahatannya (lamanya di penjara, kehilangan nyawa atau psikologis berpisah dengan keluarga atau anak-isteri, kemerdekaan).
Menurut John Carroll, tindakan korupsi mudah terjadi apabila kemungkinan sukses lebih besar dari kemungkinan gagal. Sistem administrasi yang kurang baik, kesan bahwa petugas hukum dapat disogok dengan uang dan penyelesaian secara kekeluargaan dalam suatu perkara atau korupsi.
Perilaku korupsi akan dilakukan bila keuntungan yang diperoleh (gain) jauh lebih besar dari nilai kehilangan (loss). Contoh adalah kasus Robert Tantular pemilik Bank Sentury merugikan Negara 6,8 triliunan, hanya di hukum 4 tahun penjara. Ini berarti mendekam dipenjara satu tahun dapat 1,7 triliun, demikian juga kasus Gayus tambunan dan kasus korupsi yang lain. Alangkah besar penghasilan seorang koruptor yang mendekam dipenjara di Indonesia.
Faktor Budaya
Berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi sangat dipengaruhi oleh budaya yang melekat pada suatu bangsa. Menurut Ancok (1995) ada tiga aspek budaya yang dapat mempermudah terjadinya korupsi yaitu budaya kekeluargaan, budaya masyarakat yang bapakisme dan budaya masyarakat yang kurang berani berterus terang.
Budaya kekeluargaan mempunyai banyak aspek positif bagi kehidupan suatu bangsa. Namun dari sisi negatif budaya kekeluargaan akan menyebabkan orang sulit menerapkan peraturan secara pasti. Orang sulit untuk bersikap tegas. Ketidaktegasan dalam penerapan peraturan merupakan hambatan pemeberantasan korupsi.
Budaya bapakisme menyulitkan pemeberantasan korupsi. Setiap ada tindakan korupsi oleh seorang pimpinan atau terpandang di masyarakat, maka tindakan itu akan mudah ditiru oleh orang lain yang statusnya lebih rendah. Orang akan membisu melihat pelanggaran tanpa berani berkata apa-apa. Keadaan demikian akan menimbulkan frustrasi dari masyarakat. Upaya untuk mengatasi keadaan frustrasi ini dapat berupa ikut-ikutan melanggar aturan atau korupsi.
Budaya kurang berani berterus terang akan menyebabkan orang memilih diam daripada melaporkan pelanggaran yang dilakukan orang lain. Lebih parah lagi kerap terjadi si pelapor malah dijadikan tersangka.
Upaya Memerangi Korupsi
Beberapa upaya yang bisa dilakukan yang kiranya mendukung pemberantasan korupsi adalah membentuk generasi muda yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi. Hal ini memang tidak mudah karena sikap orang tua terhadap anak di Indonesia, terutama di kalangan menengah ke atas, lebih banyak memanjakan daripada menumbuhkan motivasi berprestasi. Demikian juga dalam masyarakat kita, contoh-contoh perilaku yang kurang baik seperti melakukan jalan pintas, malas dan mengabaikan mutu membuat upaya pendidikan motivasi berprestasi menjadi gagal.
Beberapa upaya lain adalah dengan meningkatkan tertangkapnya suatu tindakan korupsi (Probability of fail) dan meningkatkan besarnya kehilangan (Loss). Dengan menghukum para koruptor seumur hidup atau hukuman mati tentunya akan meningkatkan perasaan takut untuk berbuat korupsi. Contoh yang paling berhasil menerapkan upaya ini adalah Negara Cina. Mendata kekayaan para pejabat negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), menanyakan darimana kekayaan tersebut mereka peroleh (pembuktian terbalik). Hal seperti ini memang tidak mudah, harus ada kemauan politik dari pemerintah.
Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut menilai prestasi kerja pegawai negeri, baik pimpinan maupun bawahannya. Sejauh ini penilaian terhadap karyawan atau pegawai hanya ditentukan oleh pimpinan melalui penilaian kondite. Penilaian kondite ini seringkali tidak objektif. Hal ini akan membingungkan para karyawan atau pegawai. Seringkali orang yang korup dan tidak korup, baik dan tidak baik, jujur dan tidak jujur mendapat penilaian yang sama baiknya atau sama buruknya.
Diharapkan upaya-upaya di atas, dapat mengurangi perilaku korup maupun kasus uang sogok!!

Sumber :  http://www.widyamandala.ac.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=278:korupsi-lagi-lagi-korupsi&catid=65:krida-rakyat

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar